MEDIA Sosial tak hanya membawa berkah, namun juga
membawa petaka. Hal itu terungkap dalam Seminar Program Studi (Prodi) Ilmu
Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bertema “Melek Media Sosial”,
Rabu (8/4). Bertempat di ruang teater UMM Dome, kuliah tamu ini disampaikan dua
pakar yang ahli di bidang media literasi, yakni Direktur Lembaga Konsumen Media
Watch, Dra Sirikit Syah, MA dan aktivis Media Literacy UMM, Nasrullah, MSi.
Di kesempatan pertama, Sirikit mencontohkan efek dari
penggunaan microblogging Twitter yang tidak benar dihadapan sekitar 400
mahasiswa Komunikasi yang hadir. “Contoh seorang PR (Public Relations)
Executive yang men-tweet postingan rasis tentang Afrika sebelum naik ke
pesawat. Setelah sampai di Afrika, ia sudah dipecat dan dihujat oleh jutaan
orang akibat postingannya tersebut,” tuturnya.
Menurutnya, keberadaan media sosial sudah menjadi
public sphere atau tempat masyarakat untuk bebas berbicara. “Public Sphere pada
jaman dulu adalah warung-warung atau tempat nongkrong. Media massa diharapkan
mengambil alih public sphere ini. Namun karena media massa sudah banyak yang
dibungkam atau membungkam diri, berpihak, bahkan penuh dengan agenda setting,
jadilah media sosial menjadi public sphere abad 21,” urai Sirikit.
Ia pun mewanti-wanti, jika pilar keempat demokrasi
yakni media massa atau pers sudah tidak dapat dipercaya, bukan tidak mungkin
akan dibentuk pilar kelima yakni Media Sosial. Menurutnya, resiko menggunakan
media sosial sangatlah besar. “Kita harus mewaspadai media sosial, karena
sifatnya yang masif dan publik, rentan terhadap fitnah dan pencemaran nama
baik, juga konten yang sudah terpublish susah untuk diralat,” katanya.
![]() |
Dari Kiri : Nasrullah, MSi, Dra Sirikit Syah, MA (Pemateri). Widya Yutanti, MA (Moderator). memberikan kuliah tamu Melek Media Sosial di Theater Dome UMM (8/4)
|
Senada dengan Sirikit, Nasrullah mengungkapkan media
baru yakni media sosial ini memiliki kelebihan tersendiri dibanding media
lainnya. “Media sosial ini kontennya bisa dikelola sendiri, namun menjadi
beresiko dan menjadi petaka ketika konten-konten pribadi anda kemudian di-share
ke orang lain tanpa sepengetahuan anda,” ujarnya. Media sosial bisa mengangkat
bukan siapa-siapa (no one) menjadi orang terkenal (someone), tetapi sebaliknya
bisa menghabisi hidup seseorang pula. “Itulah dua sisi mata uang, di satu sisi
menjadi berkah, di sisi lain menjadi petaka. Semua ada di jari-jari kita yang menentukannya,”
tukas Nasrullah yang juga Kepala Humas UMM ini.
Sirikit pun
menghimbau mahasiswa untuk menjadi konsumen media yang berdaya. Ia juga
mengajak untuk membentuk lembaga media watch di komunitas, kampus, dan
lain-lain. “Untuk menjadi berdaya, kita harus mampu melek media dengan mengerti
kinerja media dan kebutuhan akan media, bijak menyikapi media, memproduksi
informasi dan berbagi pengalaman serta pengetahuan yang bermanfaat, juga
mengubah status yang lebay atau berlebihan menjadi kalimat penuh hikmah dan
inspiratif,” ajak Sirikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar