Mengemban amanat sangat-lah berat
mau tak mau haruslah dijaga dengan sebaik mungkin, dengan berbagai usaha yang
tak mengenal bagaimana cara menjaganya. Menjaga dalam fitrahnya adalah
kewajiban tak hanya amanat atau titipan, setiap hal yang dimiliki haruslah
dapat dijaga.
Dua setengah tahun lalu barulah keluar
dari wahana pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum secara 100%. Tanpa
dipilah, semua dilahap dengan jadwal bermula selepas shubuh hingga jam Sembilan
malam, dinikmati selama enam tahun hingga puncaknya saat kelulusan dan menerima
empat ijazah sekaligus, sangat berbeda dengan pendidikan SMP/SMA biasa yang
hanya memberikan satu ijazah kelulusan. Enam tahun terasa masih sangat sebentar
untuk mendalami dua ilmu yang sangat-lah luas, namun dipaksa untuk bisa
mengamalkan dan meng-alim-kan (mengajarkan) dimasyarakat. Dilatih melalui
program PKL ke berbagai desa untuk mengisi kultum, kuliah shubuh hingga menjadi
imam di masjid-masjid.
Keluar dari wahana itu mengemban
anggapan masyarakat bahwa pasti menguasai dan serba tahu tentang kehidupan. Padahal
dalam jangka enam tahun dirasa belum mumpuni untuk menghadapi persoalan
lapangan yang tak pernah diduga. Walaupun pada dasarnya wahana yang disebut
sebagai pondok pesantren adalah miniatur kehidupan, bertemu dengan berbagai
karakter, sikap, dan kebiasaan yang dibawa dari rumah menuju asrama. Mau tak
mau harus bisa menyesuaikan diri, memendam ego, dan tidak semau-mau nya. Namun masih
dirasa aman karena masih dalam aturan yang dibuat oleh lembaga. Ekspektasi masyarakat
tak dapat terbendung, menganggap yang selesai dari wahana ini adalah orang suci
dan alim. Tidak hanya itu, adapula yang menganggap mantan santri bagai kuda
yang keluar dari kandangnya. Bersikap beringas, sok bebas, bertingkah tanpa
batas. Anggapan ini sudah menjadi biasa dan tidak mengagetkan lagi.
Dari berbagai anggapan itu
mungkin ada sebagian kecil yang merasa mempunyai beban dianggap alim setelah
keluar dari pelatihan ini, harus bertindak terpuji, menjadi contoh, menjadi
panutan, sampai menjadi perbandingan. Beban ini yang kadang diarasa semakin
berbenturan dengan gaya kehidupan masyarakat sekitar, yang kadang tak disangka
sangat mudah untuk berubah, sangat mudah terpengaruh, sangat mudah menjadi
fatwa-fatwa baru yang entah darimana hukum asalnya. Memang dalam agama (islam)
ada yang disebut tajdid (pembaharuan)
tapi tajdid ini tak bisa digunakan
dalam konteks sembarangan. Sering menjadi dilema bagi yang faham dengan ilmu
umum (dunia) dan ilmu agama (akhirat) untuk menggunakan ke ’harus’ an mana yang
dipakai dalam keseharian, terkadang
dalam menanggapi gaya hidup bermasyarakat harus bersifat se-fleksibel mungkin dalam menyikapi
ke-dilema-an tersebut. Entah benar atau salah, hanya dianggap dan dipandang
dari konteks mana itu benar dan salah, bukan benar yang benar dan salah yang
salah.
Padahal sadar akan semua ini,
tahu bahwa dunia hanya tempat singgah, dan akhirat tujuan akhirnya. Tetap saja
tuntutan dan kewajiban hidup haruslah terpenuhi. Ini makna dari do’a “rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil
aakhirati hasanah waqinaa adzabannaar”. Baik dunia dan baik akhirat. Mungkin
itu yang wahana itu maksud maka haruslah mempelajari ilmu umum dan agama secara
100%.
Meminjam sebuah istilah “pisau adalah benda yang bisa menjadi
kebaikan ataupun keburukan tergantung digunakan oleh siapa pisau tersebut”. Mungkin
dapat dimaknakan sebagai ilmu, bagaimana ilmu digunakan tergantung siapa yang
menggunakannya. Ini yang terkadanag menjadi beban, dibagian mana dan saat
bagaimana ilmu yang dimiliki harus diamalkan. Sedangkan masyarakat sebagiannya
menganggap bahwa hukum agama cukup ortodok untuk diberlakukan kembali. Cukup memandang
konteks, sopan atau tak sopan bisa menjadi landasana bertingkah laku. Hidup memang
dinamis, tapi cukup menjadi beban kedinamisan ini.
Walau pada akhirnya setiap hasil
yang kita raih akan sesuai dengan usaha yang kita lakukan, akan tetapi kita
tidak boleh hanya memandang secara kasat mata hasilnya karena semua yang kita
lihat belum tentu benar. “jika hasil
kurang memuaskan, lihatlah prosesnya, dan jika hasil memuaskan maka itulah buah
dari proses yang maksimal”.
Ah sudahlah… ini hanya ratapan,
ini hanya suara kecil yang tak mungkin terdengar, biarkan apa adanya.
tapi sekarang aku berpikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar,
walau sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu,
katakanlah, ide-de, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban
buat tidak apa-apa (Catatan Seorang Demonstran, h. 101 - Soe Hok Gie)
![]() |
Ma'had Darul Arqam Muhammadiyah Garut |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar