Kamis, 22 Januari 2015

Beban Pembelajar Ilmu Umum Dan Ilmu Agama

Mengemban amanat sangat-lah berat mau tak mau haruslah dijaga dengan sebaik mungkin, dengan berbagai usaha yang tak mengenal bagaimana cara menjaganya. Menjaga dalam fitrahnya adalah kewajiban tak hanya amanat atau titipan, setiap hal yang dimiliki haruslah dapat dijaga.

Dua setengah tahun lalu barulah keluar dari wahana pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum secara 100%. Tanpa dipilah, semua dilahap dengan jadwal bermula selepas shubuh hingga jam Sembilan malam, dinikmati selama enam tahun hingga puncaknya saat kelulusan dan menerima empat ijazah sekaligus, sangat berbeda dengan pendidikan SMP/SMA biasa yang hanya memberikan satu ijazah kelulusan. Enam tahun terasa masih sangat sebentar untuk mendalami dua ilmu yang sangat-lah luas, namun dipaksa untuk bisa mengamalkan dan meng-alim-kan (mengajarkan) dimasyarakat. Dilatih melalui program PKL ke berbagai desa untuk mengisi kultum, kuliah shubuh hingga menjadi imam di masjid-masjid.

Keluar dari wahana itu mengemban anggapan masyarakat bahwa pasti menguasai dan serba tahu tentang kehidupan. Padahal dalam jangka enam tahun dirasa belum mumpuni untuk menghadapi persoalan lapangan yang tak pernah diduga. Walaupun pada dasarnya wahana yang disebut sebagai pondok pesantren adalah miniatur kehidupan, bertemu dengan berbagai karakter, sikap, dan kebiasaan yang dibawa dari rumah menuju asrama. Mau tak mau harus bisa menyesuaikan diri, memendam ego, dan tidak semau-mau nya. Namun masih dirasa aman karena masih dalam aturan yang dibuat oleh lembaga. Ekspektasi masyarakat tak dapat terbendung, menganggap yang selesai dari wahana ini adalah orang suci dan alim. Tidak hanya itu, adapula yang menganggap mantan santri bagai kuda yang keluar dari kandangnya. Bersikap beringas, sok bebas, bertingkah tanpa batas. Anggapan ini sudah menjadi biasa dan tidak mengagetkan lagi.

Dari berbagai anggapan itu mungkin ada sebagian kecil yang merasa mempunyai beban dianggap alim setelah keluar dari pelatihan ini, harus bertindak terpuji, menjadi contoh, menjadi panutan, sampai menjadi perbandingan. Beban ini yang kadang diarasa semakin berbenturan dengan gaya kehidupan masyarakat sekitar, yang kadang tak disangka sangat mudah untuk berubah, sangat mudah terpengaruh, sangat mudah menjadi fatwa-fatwa baru yang entah darimana hukum asalnya. Memang dalam agama (islam) ada yang disebut tajdid (pembaharuan) tapi tajdid ini tak bisa digunakan dalam konteks sembarangan. Sering menjadi dilema bagi yang faham dengan ilmu umum (dunia) dan ilmu agama (akhirat) untuk menggunakan ke ’harus’ an mana yang dipakai dalam keseharian,  terkadang dalam menanggapi gaya hidup bermasyarakat harus bersifat se-fleksibel mungkin dalam menyikapi ke-dilema-an tersebut. Entah benar atau salah, hanya dianggap dan dipandang dari konteks mana itu benar dan salah, bukan benar yang benar dan salah yang salah.


Padahal sadar akan semua ini, tahu bahwa dunia hanya tempat singgah, dan akhirat tujuan akhirnya. Tetap saja tuntutan dan kewajiban hidup haruslah terpenuhi. Ini makna dari do’a “rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah waqinaa adzabannaar”. Baik dunia dan baik akhirat. Mungkin itu yang wahana itu maksud maka haruslah mempelajari ilmu umum dan agama secara 100%. 

Meminjam sebuah istilah “pisau adalah benda yang bisa menjadi kebaikan ataupun keburukan tergantung digunakan oleh siapa pisau tersebut”. Mungkin dapat dimaknakan sebagai ilmu, bagaimana ilmu digunakan tergantung siapa yang menggunakannya. Ini yang terkadanag menjadi beban, dibagian mana dan saat bagaimana ilmu yang dimiliki harus diamalkan. Sedangkan masyarakat sebagiannya menganggap bahwa hukum agama cukup ortodok untuk diberlakukan kembali. Cukup memandang konteks, sopan atau tak sopan bisa menjadi landasana bertingkah laku. Hidup memang dinamis, tapi cukup menjadi beban kedinamisan ini.

Walau pada akhirnya setiap hasil yang kita raih akan sesuai dengan usaha yang kita lakukan, akan tetapi kita tidak boleh hanya memandang secara kasat mata hasilnya karena semua yang kita lihat belum tentu benar. “jika hasil kurang memuaskan, lihatlah prosesnya, dan jika hasil memuaskan maka itulah buah dari proses yang maksimal”.  

Ah sudahlah… ini hanya ratapan, ini hanya suara kecil yang tak mungkin terdengar, biarkan apa adanya.

tapi sekarang aku berpikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-de, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa (Catatan Seorang Demonstran, h. 101 - Soe Hok Gie)

Ma'had Darul Arqam Muhammadiyah Garut

Tidak ada komentar: